Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

makalah korupsi

MAKALAH KORUPSI
Korupsi adalah penyakit moral, bahkan kecenderungannya semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan kajian psikologis, budaya dan normatif, secara simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas.
Kata kunci: korupsi, kajian psikologi (individu), budaya, dan normative (sistem aturan yang berlaku)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan filsafah negara. Serta Indonesia terdiri dari berbagai macam agama yaitu Hindhu, Budha, Kristen, Islam dan Kong huchu sehingga setiap orang kebanyakan menilai orang dari segi sosial dan agamanya. Pada masa ORLA dan ORBA penduduk Indonesia dikatakan sebagai penduduk yang bersifat ketimur-timuran karena sifatnya memang seperti orang-orang timur, maksudnya adalah sikap orang Indonesia pada saat itu bersikap sopan, santun, baik, ramah tamah dan jujur, serta rasa sosialis yang tinggi. Tapi, pada awal era revormasi sekitar tahun 2000 an penduduk Indonesia seketika berubah tapi bukan tidak melalui proses. Penduduk Indonesia telah terkena demonstration effect sehingga sebutan Indonesia sebagai Negara yang ketimur-timuran kini berubah menjadi Negara yang kebarat-baratan. Disebut Negara kebarat-baratan karena sikap moral dari pada penduduk Indonesia ini sudah mulai menurun, dan ini termasuk sebagai salah satu permasalahaan sosial yang akan menyebabkan generasi muda sebagai generasi penerus mempunyai watak yang tidak baik, jika seperti itu maka kelanjutan dari pada Negara ini tidak akan bisa dibayangkan, betapa koprol nya nanti Negara ini jika dipimpin oleh pemimpin yang mempunyai watak dan moral yang kurang baik.

 Terlepas dari hal itu, nampaknya kini sudah ada hasilnya, dari mulai ORBA sampai Era Reformasi Pancasia yang bersifat demokratis seperti saat ini Indonesia sudah menerima hasil nya berupa pemerintahan yang koprol. Koprol dalam artian adalah para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri dan mementingkan diri sendiri atau golongan sehingga rakyat kecil menjadi bingung dan terjadi KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme) yang semakin lama semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya.

Permasalahan ini memang bukan merupakan masalah yang baru, tapi sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan Negara ini, jika pemerintah dan para ahli politik saling bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal dalam kampanye yang dilakukan dan bukan semata-mata karena rakyat, sikap ini sangat amat bahaya sekali. Penyakit ini jika penulis samakan dalam penyakit manusia adalah sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah gejala yang terjadi akan terasa setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Begitupun dengan penyakit Negara kita saat ini yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dampaknya akan kelihatan dalam selang waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura pernah mengecap Indonesia sebagai the envelope country, jika diterjemahkan secara bebas artinya adalah Sebuah Negara amplop. Menurut penulis wajar Singapura mengecap Indonesia dengan sebutan itu dan seharusnya para Aparatur Negara tanpa terkecuali seharusnya berkaca dari ucapan itu dan bukan malah menuntut Singapur. Mengapa demikian?, jelas kerana fakta yang ada di Indonesia saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai dari hukum, lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, petugas pajak dan dari lembaga Independen sekalipun bisa dibeli.

Title atau julukan sebagai Negara terkorup tentunya sangat memanaskan telinga untuk didengar karena pasalnya Indonesia telah kalah dengan china, karena china kini sudah bisa untuk memperbaiki diri. Bahkan china mengambil langkah yang tegas dengan menghukum mati bagi yang melakukan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika terdapat pertanyaan, mengapa Indonesia tidak melakukan tindakan seperti itu?, jawabannya adalah tentu saja Indonesia tidak akan mengambil tindakan setegas itu karena merupakan pelanggaran Hak Azazi Manusia dan menurut Dr. Iyus Akhmad Haris, M.Pd,. (dosen jurusan pendidikan ekonomi, fakultas ilmu sosial undiksha) dalam mata kuliahnya Pendidikan Ilmu Sosial menjelaskan bahwa permasalahan sosial yang terjadi di lain daerah walaupun pokok permasalahannya sama tapi belum tentu solusinya sama . Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah ?. pertanyaan ini menjadi tanda Tanya besar bagi Indonesia karena sampai saat ini pun Indonesia belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi ini, seperti contoh kasus bank century, kasus pajak gayus dan masih banyak kasus-kasus yang menggelapkan uang Negara dan merugikan Negara yang belum tuntas.

Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi.  Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi.

1.2.        Rumusan Masalah
Agar Pembahasan dalam makalah ini tidak meluas, maka penulis mencoba menguraikan pembahasan terhadap permasalahan sebagai berikut.
a.    Apakah Pengertian Korupsi ?
b.    Bagaimana Fakta korupsi yang terjadi di masyarakat ?
c.    Upaya apa sajakah yang telah dilakukan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ?
d.    Bagaimana Solusi Pemberantasan korupsi ?


1.3.        Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1.   Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah sebagai berikut.
a.    Untuk mengetahui Pengertian Korupsi.
b.    Untuk mengetahui Fakta korupsi yang terjadi di masyarakat.
c.    Untuk mengetahui tindakan-tindakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
d.    Untuk mengetahui solusi Pemberantasan korupsi.

1.3.2.   Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai solusi pemecahan masalah dalam  pemberantasan korupsi yang semakin mengakar di indoesia ini.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1.        Pengertian Korupsi
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana. Korupsi memang sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Dibawah ini merupaka beberapa pendapat dari para ahli tentang pengertian dari korupsi.

a.    Dalam Wikipedia.org dijelaskan bahwa pengertian korupsi, menurut arti katanya “korupsi” berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap, menyimpang dari kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Sedangkan secara harfiah dapat diartikan bahwa korupsi adalah perilaku pejabat publik, politikus atau politisi, pegawai negeri, yang secara tidak wajar atau tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalah gunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
b.    Menurut K Soeparto (dalam M Sudradjat Bassar, 1983 : hal.77), perkataan Corruption mempunyai banyak makna, yaitu bederven (merusak), schenden (melanggar), dan omkopen (menyuap). Pers acapkali memakai istilah korupsi dalam arti yang luas, mencakup masalah-masalah tentang penggelapan.
c.    Muhammad Rahmat Kurnia mendefinisikan korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap kekayaan rakyat dan Negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri.
d.    Menurut Syariah korupsi adalah merupakan bagian dari ghulul yaitu tindakan yang mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil dari harta masyarakat maupun Negara.
e.    Sejarawan Onghonkam menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu penyimpangan didalam birokrasi atau suatu system melalui pemisaham keuangan antara keuangan pribadi maupun keuangan umum.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan pidana yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
a.    Perbuatan Melawan Hukum,
b.    Penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana,
c.    Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi,
d.    Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Menurut Prof. Muljatno (dalam K Wantjik Saleh, 1983 : hal. 16), Tindak Pidana merupakan Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum.

Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Dapat penulis simpulkan disini bahwa Korupsi merupakan Tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan kekuasaannya guna mengeduk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.

2.2.        Faktor-faktor penyebab korupsi
Sejarah korupsi memang setua usia manusia. Ketika manusia mengenal relasi sosial berbasis uang atau barang, maka ketika itu sebenarnya sudah terjadi yang disebut korupsi. Hanya saja memang kecanggihan dan kadar korupsinya masih sangat sederhana. Akan tetapi sejalan dengan perubahan kemampuan manusia, maka cara melakukan korupsi juga sangat variatif tergantung kepada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut. Jadi, semakin canggih manusia merumuskan rekayasa kehidupan, maka semakin canggih pula pola dan model korupsinya.

Untuk menemukan penyebab korupsi, maka saya ingin menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.

Manusia dewasa ini sedang hidup di tengah kehidupan material yang sangat mengedepan. Dunia kapitalistik memang ditandai salah satunya ialah akumulasi modal atau kepemilikan yang semakin banyak. Semakin banyak modal atau akumulasi modal maka semakin dianggap sebagai orang yang kaya atau orang yang berhasil. Maka ukuran orang disebut sebagai kaya atau berhasil adalah ketika yang bersangkutan memiliki sejumlah kekayaan yang kelihatan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada outward appearance yang tampak di dalam kehidupan sehari-harinya. Cobalah kalau kita berjalan di daerah-daerah yang tergolong daerah komunitas kaya, maka hal itu cukup dilihat dengan seberapa besar rumahnya, di daerah mana rumah tersebut, dan apa saja yang ada di dalam rumah tersebut, maka dengan mudah dapat diketahui bahwa ada perumahan yang tergolong sebagai perumahan ”elit”.

Di tengah kehidupan yang semakin sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka  seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.

Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan. Korupsi dengan demikian kiranya akan terus berlangsung, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan. Semakin banyak orang salah dalam memandang kekayaan, maka semakin besar pula kemungkinan orang akan melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan.

Faktor tersebut diatas yaitu faktor yang dikarenakan motif hanya bisa dilihat dari sudut pandang tingkatan sosial saja yaitu dari aspek kekayaan. Dalam  buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4(empat) aspek, yaitu:
a.    Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar.
b.    Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan system pengendalian manajemen, dan kecenderungan manajemen menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasinya.
c.    Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
d.    Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, yudisial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Azhari mengungkapkan faktor penyebab merajalelanya tindak korupsi kerena tiga hal. Korupsi terjadi karena lemahnya control Negara terhadap aparatnya, perlakukan hukum yang berbeda anatara penguasaha dan rakyat jelata dan ringannya sanksi hukum terhadap para koruptor.

Lemahnya control Negara dapat kita lihat dari ‘kerjasama’ yang baik antara yang diperiksa dam yang memeriksa, meskipun telah ada pemeriksa khusus yang sifatnya Independen didalam kelembagaan Negara seperti BPK, KPK dan badan-badan lainnya, tetapi sering mereka dengan mudah mengatur agar terlihat bersih karena mental korup telah merasuk secara mendalam terhadap para aparat pemerintah.

Perlakuan hukum yang berbeda dapat kita lihat ketika pejabat pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang terlibat korupsi, mereka berusaha untuk saling menutup-nutupi kasus korupsi, bahkan setelah terbukti bersalah dipengadilan-pun pejabat tersebut tidak dipecat dan tidak dipenjara. Vonis pengadilan bisa dinegosiasikan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk kepentingan politik (koalisi) jangka panjang. Seorang anggota DPR yang terbukti korupsi dapat dibebaskan dengan kompensasi tidak “mengganggu” pemerintah (eksekutif). Sedangkan maling-maling kecil dari rakyat jelata, bahkan hanya mencuri sepasang sandal saja atau mengambil buah kapas saja segera dipenjara.

Ringannya sanksi hukum dapat kita amati dari miliyaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat yang di korup, sanksi yang harus ditanggung hanyalah satu tahun atau beberapa tahun penjara saja. Bandingkan dengan pencopet puluhan ribu rupiah saja yang dihukum dengan waktu yang sama. Disamping itu mereka tidak diharuskan untuk mengembalikan harta yang mereka korup, karena mereka bisa dengan pintar untuk mengatasnamakan keluarganya atas asset yang mereka peroleh dari korupsi. Sehingga sanksi yang ringan ini tidak membuat jera pelakunya, setelah bebas dari penjara mereka menikmati harta miliyaran yang mereka korup.

Sedangkan menurut S. H. Alatas korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
a)    Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
b)    Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika,
c)    Kolonialisme,
d)    Kurangnya pendidikan,
e)    Kemiskinan,
f)     Tiadanya hukuman yang keras,
g)    Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi,
h)   Struktur pemerintahan,
i)     Perubahan radikal, dan
j)      Keadaan masyarakat.

Abdullah Hehamahua juga melihat ada tiga faktor penyebab korupsi di Indonesia, yaitu: pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia umum bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif, tidak sedikit yang sampai shopping ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup dua minggu. Nasib dua minggu berikutnya tergantung dari kreatifitasnya masing-masing yang salah satu kreatifitas tersebut dengan melakukan KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan yang tidak efektif. Karena pengawasan pembangunan yang lemah maka membuka peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan penyalahgunaan semisal mark up dan lain sebagainya, dan ketiga, sikap serakah pejabat.

Lebih lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan tiga faktor di atas, tetapi jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga persoalan lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu: Pertama, sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde Lama yang kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan yang keliru, yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat. Kedua, kerancuan institusi kenegaraan. Tumpang tindihnya fungsi dan peran institusi negara menyuburkan praktek KKN di Indonesia. Dan ketiga, tidak tegaknya supremasi hukum. Hukum hanya tegak ketika berhadapan dengan orang ‘kecil’ seperti pencuri ayam tetapi hukum bisu ketika harus berhadapan orang ‘besar’ seperti para koruptor yang telah mencuri uang rakyat. Hukum bisa dibeli, maka tak heran kalau banyak para terdakwa yang telah diputus bersalah tetap bebas leluasa berkeliaran bahkan ada yang bisa menjadi calon presiden.

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara.

2.3.        Akibat-Akibat Korupsi
David H. Bayley menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi tanpa memperhatikan apakah akibat-akibat itu baik atau buruk bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat yang merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua, akibat-akibat tak langsung melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan tertentu, dalam hal ini perbuatan korupsi telah dilakukan.

Mc Mullan (dalam Saleh, K. Wantjik: 1983) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1.    Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.    Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3.    Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4.    Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
5.    Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
6.    Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
7.    ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
8.    pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

2.4.        Strategi Pencegahan Korupsi
Ada beberapa Strategi yang patut dipertimbangkan dalam pelaksanaan penumpasan korupsi di Indonesia ini, adalah sebagai berikut.

1.     Strategi Preventif.
Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:
a.      Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;
b.      Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya;
c.      Membangun kode etik di sektor publik.,
d.      Membangun kode etik Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis;
e.      Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;
f.       Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri;
g.      Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;
h.      Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;
i.        Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN).
j.        Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; dan
k.      Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional.

2.     Strategi Detektif
Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan:
a.    Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;
b.    Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;
c.    Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;
d.    Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional;
e.    Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional;
f.     Peningkatan kemampuan SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

3.     Strategi Represif.
Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan:
a.    Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi;
b.    Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes);
c.    Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas;
d.    Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik;
e.    Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus;
f.     Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu;
g.    Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;
h.    Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan startegi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).



BAB III
METODE PENULISAN
3.1.        Objek Penulisan
Objek penulisan makalah ini adalah mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia.
3.2.        Dasar Pemilihan Objek 
Saya sebagai penyusun makalah ini, memilih objek permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia karena permasalahan ini merupakan permasalahan yang sudah mendarah daging dari dulu hingga sekarang, dan belum bisa untuk di tuntaskan
3.3.        Metode Pengumpulan Data
Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu mengenai tindakan korupsi. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs web internet yang membahas mengenai masalah-masalah korupsi terkini.

3.4.        Metode Analisis 
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yanag ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1.       Fakta korupsi yang terjadi di masyarakat
Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai.
Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, enyebut lebih dari Rp 300 Triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap kekantong para koruptor.
Korupsi bisa diiringi dengan kolusi, membuat keputusan yang diambil oleh pejabat Negara menjadi titik optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak kebijakan yang sangat kolutif  karena di belakangnya ada motivasi korupsi.
Bentuk korupsi terhadap uang Negara tidak hanya terhadap utang luar negeri. Namun, juga utang domestik dalam bentuk obligasi rekap bank-bank sebesar Rp 650 Triliun. Skandal BLBI yang tak kunjng usai setidaknya menunjukkan terjadinya korupsi tingkat tinggi di kalangan pejabat keuangan, kenglomerat serta banker. Kasus yang masih belum cukup lama adalah skandal bank century pun telah menyebabkan uang lenyap, namun pelakunya tak ada yang ditangkap.
Kasus korupsi BNI dengan nilai 1,7 triliun rupiah yang ternyata kemudian juga diikuti dengan bank pelat merah yaitu BRI dalam kasus jual-beli quota haji di wilayah kewenangan Depag, dan kasus “tarif”  untuk calon legislatif untuk nomor-nomor jadi yang bernilai hingga ratusan juta rupiah.
Tidak hanya itu, korupsi pun terjadi di daerah-daerah setingkat propinsi dan kota. Dalam harian Jurnal Bogor di bulan juni 2009 memberitakan bahwa sekitar 90 persen bantuan dana sosial (bansos) dari pemerintah jawa barat dipastikan diselewengkan.  Menurut Kepala Kejaksaan tinggi (Kejati) Drs. H.M. Amari, SH. MH, dari total dana yang disalurkan ke semua daerah di Jabar termasuk bogor itu, hanya 10% saja yang sampai kemasyarakat. Sementara yang 90 % nya tidak tersalurkan oleh penerima bansos, seperti pengurus politik yayasan,panitia pembangunan rumah ibadah, dan lembaga pendidikan.
Kejadian yang sangat mencoreng lembaga pemerintahan adalah, kejadian penyelewengan atau penggelapan uang pajak oleh gayus dan rekan-rekannya yang ber triliun-triliun besarnya dan hingga sampai saat ini kasus ini belum selesai juga.
Tentu saja tindakan korupsi sangatlah merugikan berbagai pihak. Korupsi juga membuat semakin bertambahnya kesenjangan akibat buruknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah demikian menjauh, maka korupsi juga makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, dan yang miskin makin miskin. Akibatnya lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.

4.2.       Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi 
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

Gambar 1: Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia
Tahun 2006













Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk.
Indonesia berada pada peringkat teratas dalam IPK (Indeks Persepsi Korupsi) dikawasan asia. Nilai yang amat sangat sempurna dan baik yang bisa diraih oleh indonesia seandainya gambar diatas bukan merupakan kurva yang menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi. Kenyataan pahit yang harus kita terima sebagai rakyat indonesia. Apakah kita harus menerima IPK ini, dan apakah kita harus menerima kelakuan para pemimpin kita yang seharusnya mempunyai kepercayaan untuk membengun bangsa dan negeri ini menjadi lebih baik dan bukan menjadi terpuruk dan hancur ?.
 Jika ditingkat asia prestasi kita dalam korupsi bisa dibilang buruk, Begitu pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor.

4.3.       Solusi Pemberantasan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.  Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Menurut pendapat H. Islmail susanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan agar korupsi tidak hilang dan tidak dilakukan oleh masyarakat. Didalam sebuah essay-nya yang dimuat di harian republika mengatakan bahwa berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukan oleh syariat islam.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik apabila gaji mereka tidak mencukupi, karena para birokrat juga manusia biasa.
 Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan kepada aparatur pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa seseorang memberikan sesuatu kalau tidak ada maksud tertentu.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi tentu kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya itu melakukan tindakan korupsi. Bisa saja dia mendapatkan kekayaan itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau dengan cara lain yang halal.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan bisa dilakukan jika para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah Negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melakukan tugasnya dangan penuh amanah. Karena dengan taqwa pula ia takut untuk melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah Swt (Tuhan YME) pasti melihat semuanya dan di akhirat nanti pasti akan dimintai pertanggung jawaban.
Kelima, hukuman yang setimpal. Pada dasarnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal bagi para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah, hukuman setimpal atas koruptor membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Keenam, Pengawasan Masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi.
Dari point-point tersebut dapat di eksplisitkan bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu.
Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instan, atau setidaknya dengan harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan didunia ini. Tapi , individu yang baik sebenarnya banyak. Andaikan didunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan dengan normal. Orang selalu dalam ketakutan karena tidak ingin ditipu, atau semangat untuk menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan dengan manusia, baik berdagang maupun menikah.
Jadi kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu pada dasarnya adalah baik, karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya dalam diri manusia sejak masih didalam rahim. Didalam surat Qs. 15- al hijr; 29, yang artinya, maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud.
Dapat disimpulkan bahwa pada awalnya maanusia semuanya memiliki sifat yang baik, akan tetapi sebagian orang yang menjadi koruptor itu tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal itu akan dianggap normal atau tidak. Pada masyarakat yang budaya “uang pelican” sudah dianggap wajar, maka orang tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andaikata dua hal ini dicoba pada masyarakat yang memilki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelican itu haram, dan nepotisme itu awal kehancuran, tentu akan terjadi sasuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat dibentuk.peran pendidikan sangat besar.  Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak ddini. Tentu saja mereka pula yang berhak memberikan sikap keteladanan yang baik. Kalau sang guru sendiri dulu mendapatkan pekerjaan dengan menggunakan uang pelicin, atau lulus ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka merupakan bagian dari masalah dan bukan merupakan sebuah solusi.
Budaya anti korupsi akan menghasilkan individu-individu anti-korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Pada masyarakat yang sarat dengan korupsi, tentu saja sulit untuk mendapatkan individu-individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya ini bisa ditumbuhkan melalui pendidikan, keteladanan pemimpin dan lewat kampanya yang massif, misalnya dengan pemasangan poster-poster yang akan mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan pada koruptor. Namun juga strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi juga terjadi dengan adanya aturan-aturan main yang salah.
 Sebagai contoh; aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat sebagian orang enggan untuk melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas. Hasilnya, dibeberapa daerah cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya pada STNK. Ketika ada PNS untuk datang kedaerah itu dan akan menyewa mobil, yang ada hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah, diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dalam nama STNK. Lalu solusinya apa? Solusi jangka pendeknya adalah bisa menggunakan fotocopy STNK palsu atau menyuap agar petugas kantor kas Negara da auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang lebih elegan adalah dengan membuat khausul tambahan pada aturan yang formal berlaku, yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulakan akses yang rumit dilapangan. Perubahan aturan-aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama kendaraannya. Misalnya biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik nama.
Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi – meskipun perusahaan merugi – atau dia sebenarnya hanya perlu di gaji secukupnya, sedang penghasilan yang tinggi tergantung prestasinya.
Dari beberapa contoh diatas adalah contoh untuk merubah aturan dalam mencegah korupsi. Contoh yang lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan sebelumnyaadalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara, atau yang bersangkutan dipidana.






BAB V
PENUTUP

5.1.        Simpulan
Berdasarkan atas pembahasan diatas dan dari rumusan masalah maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan Tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan kekuasaannya guna mengeduk keuntungan pribadi atau kelompok dan sangat merugikan kepentingan umum dan sangat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Bentuk-bentuk korupsi yang terjadi adalah penyelewengan dana-dana atau keuangan Negara sehingga dapat merugikan rakyat seperti skandal bank century, korupsi BNI dan BRI yang temasuk juga didalamnya Depag serta kerupsi-korupsi terjadi pada tingkat daerah yaitu propinsi, yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah faktor kekayaan atau faktor motif pelaku yang mempunyai motif serakah dan tidak puas, serta lemahnya control Negara, perlakuan hukum yang berbeda, dan ringannya sanksi hukum.
Dari berbagai kejadian korupsi tersebut maka tingkat korupsi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini termasuk Negara yang paling tinggi korupsinya didunia. Meskipun berbagai macam upaya yang dilakukan oleh pemerintah namun, semua itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. Padahal upaya pemberantasan korupsi ini dimulai sejak era bung karno sampai sekarang, tetapi seakan-akan korupsi ini bagaikan penyakit dan virus HIV/AID yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Dalam hal ini adalah korupsi yang akan melemahkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara tuntas menurut H. Ismail Yusanto menyatakan bahwa terdapat enam langkah dalam pemberantasan korupsi yaitu; pertama: sistem penggajian yang layak; kedua: larangan menerima suap dan hadiah; ketiga: perhitungan kekayaan; keempat: teladan pemimpin; kelima: hukuman setimpal; keenam: Pengawasan masyarakat.
Selain enam poin tersebut, pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu. Pertama kita harus meyakini bahwa sebagian besar individu sebenarnya mempunyai sifak yang baik, karena Allah telah meniupkan sifat-sifat agungnya ssemenjak dia berada didalam rahim. Tentu saja dalam hal ini koruptor, itu merupakan pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang paling utama disini adalah pembentukan tiga pilar yaitu pendidikan, lingkungan dan media. Tiga hal yang akan membangun suatu budaya. Untuk itu, agar tercipta budaya anti korupsi maka ketiga faktor eksternal tersebut harus dikondisikan agar masyarakat tidak berprilaku korupsi, yang akhirnya akan menjadi faktor-faktor pencegah atau pemberantasan korupsi.
Namun stategi individu dan Kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi ada juga yang terjadi karena aturan-aturan main yang salah. Untuk itu, harus dilakukan upaya-upaya merubah aturan yang dapat mencegah korupsi termasuk aturan memberantas korupsi setelah terjadi. Perhitungan kekayaan pejabat baik sebelum maupun setelah menjabat adalah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk Negara, atau yang bersangkutan dipidana.

5.2.        Saran 
Melihat dari fakta yang ada, bahwa peran pemerintah dalam menjalankan upaya untuk pemberantasan korupsi masih belum maksimal meskipun adanya lembaga-lembaga yang sifatnya independen tetapi masih bisa untuk dilakukan lobi kasus, maka penulis kira masih sangat jauh dari berhasil dalam pemberantasan korupsi ini. Adapun saran yang dapat disampaikan didalam makalah ini adalah hendaknya pemerintah lebih meningkatkan kontrol terhadap lembaga-lembaga yang ada dan lebih menekankan sifat yang independen, kemudian ikut sertakan masyarakat untuk mengntrol jalannya pemerintahan, bisa diwakilkan dengan pembuatan kelompok atau organisasi yang sifatnya independen yang anggotanya berasal dari masyarakat, para aktifis dan mahasiswa.
Hendaknya juga agar pemerintah melakukan penegakan hukum secara konsisten dan sesuai dengan tingkat pidana yang dilakukan oleh pelaku, serta pemerintah juga harus berlaku secara independen tidak memihak siapapun, dan tidak pandang bulu. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus melihat kedepannya agar sifat-sifat korup ini tidak menurun ke anak cucu, maka bentuklah watak bangsa mulai dari sekarang menjadi mental yang baik dan bertanggung jawab dalam segala hal baik secara moral maupun kelakuan. Tentunya melalui pendidikan dan sikap keteladanan dari pada pemimpin yang mejadi tombak utama sebagai cerminan dari pemerintah terhadap generasi penerus.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES.
Azhari.  2004. Korupsi yang membumi. http:// www.hayatulislam.net
Bassar, M. Sudradjat. 1983. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP), Bandung : CV Armico,
Buletin Al Islam Edisi 182. Agar Memerangi Korupsi Tak Sebatas Jargon.
Bayley, David H. 1995. “Bunga Rampai Korupsi”. Jakarta: LP3ES.
Hehamahua, Abdullah dalam. 2004. “Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama dalam Gerakan Anti Korupsi”, dalam buku dalam buku Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi.
Harian REPUBLIKA, 21 Nopember 2003. Islam dan Jalan Pemberantasan korupsi.
Harian Jurnal Bogor, Edisi 24 Juni 2009. Artikel 90 persen dikorupsi.
Kompas, Pembuktian Terbalik, Kenapa Tidak ?, Kompas, 14 April 2001
http://www.antikorupsi.org/newsart/anatomi.htm. anatomi korupsi di indonesia upaya Pemberantasannya. (diakses pada tanggal 13 desember 2010)
http://id.wikipidia.org/wiki/korupsi. (diakses pada tanggal 13 desember 2010)
Kwik kian Gie. 2003. Pemberantasan korupsi untuk meraih kemandirian, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan, edisi 2
Muhammad, Rahmat kurnia. 2009. Pembuktian Terbalik Berbatas Korupsi. http://www.mediaumat.com/cpntent/view/1050/65/
Saleh, K. Wantjik. 1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta : Ghalia Indonesia,
Sjahrudin Rasul. Dkk. 2002. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN BUMN/BUMD DAN PERBANKAN. Jakarta: BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN 2002

Post a Comment for "makalah korupsi"